Rabu, 09 November 2011

ANALISIS PUISI BERDASARKAN PENDEKATAN STRUKTURAL


TEORI PENDEKATAN STRUKTURAL
A.    Memahami Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi tidak hanya digunakan untuk penulisan karya-karya besar, namun ternyata puisi juga erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dunia telah diperindah dengan adanya puisi.
      Nyanyian-nyanyian yang kita dengarkan tidaklah semata-mata hanya lagunya yang indah, tetapi terlebih lagi isi puisinya mampu menghibur manusia. Puis-puisi cinta didengarkan oleh para penyanyi dari berbagai kurun waktu dan anehnya tidak pernah membosankan karena selalu diperbaharui oleh penyairnya.
      Tradisi berpuisi sudah berupa tradisi kuno  dalam masyarakat. Puisi yang paling tua adalah mantra. Dalam masyarakat desa di Jawa, terdapat tradisi mendengarkan tembang-tembang Jawa pada saat acara jagong bayi atau pesta-pesta. Yang didengarkan oleh hadirin bukan hanya lagunya, namun terlebih isi puisi yang biasanya mengandung cerita atau nasihat.
      Ada suasana tertentu di saat seseorang dituntut untuk berpuisi dan saat lain dimana seseorang dituntut untuk berprosa. Tuntutan pengucapan itu juga turut memberi warna kodrat prosa dan puisi. Puisi diciptakan dalam suasana perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Dalam puisi, aku lirik berbicara tentang jiwanya sendiri artinya mengungkapkan dirinya sendiri. Di dalam prosa, pengarang tidak membicarakan dirinya sendiri. Dalam prosa, aku lirik bicara tentang kisah orang lain atau tentang dunia.
      Setiap puisi pasti berhubungan dengan penyairnya karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri. Si dalam puisi, aku lirik memberikan tema, nada, perasaan, dan amanat. Rahasia dibalik majas, diksi, imaji, kata konkret, dan versifikasi akan dapat ditafsirkan dengan tepat jika berusaha memahami rahasia penyairnya.
       Definisi puisi sulit diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya sastra lainnya.
      Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah menunjukan ciri-ciri yang khas seperti kita kenal sekarang, meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun.bentuk karya sastra puisi memang dikonsep oleh penulis atau penciptanya sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan bentuk yang terungkapkan. Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan gagasannya untuk melahirkan puisi. Penyair bukan memulai karyanya dengan konsep prosa. Perencanaan konsep dasar penciptaan sudah sejak dalam pikirannnya. Hal ini juga berakibat bahwa seorang penyair belum tentu mampu menjadi pengarang prosa, sebaliknya seorang pengarang prosa belum tentu mampu menjadi penyair.
B.     Analisis Struktural
Puisi (kaya sastra) merupakan sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan salng bergantung.
Dalam pengertian struktur ini (Piaget via Hawkes, 1978:16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide diri sendiri (self-regulation).
Pertama, struktur itu merupakan keastuan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Misalnya struktur kalimat: Ia memetik bunga. Strukturnya: subjek – predikat – objek. Dari struktur itu dapat diproses: Saya (Siman, Tuti, Tini) memetik bunga. Dapat juga diproses dengan struktur itu: Ia memetik buah (mawar, daun, melati), atau: Ia merangkai (memasang, memotong, menanam) bunga, begitu seterusnya. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkanprosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat: Saya memetik bunga, tidaklah diperlukan keterangan dari dunia nyata, melainkan di proses atas dasar aturan didalamnya dan yang mencukupi diriny sendiri. Bunga itu berfungsi sebagai objek dalam kalimat bukan karena menunjuk bunga yang nyata ada di luar kalimat itu, melainkan berdasarkan tempatnya dalam struktur itu, maka bunga berfungsi sebagai objek (karena terletak langsung di belakang kata kerja transitif aktif). Jadi, setiap unsur itu mempunyai fungsi tertentu berdasarkan aturan dalam struktur itu. Setiap unsur mempunyai fungsi tertentu berdasarkan letaknya dalam stuktur itu.
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-stuktur seperti tersebut di atas. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam stuktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978:17-18).
Dengan pengretian seperti itu, maka analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam stuktur.
Karya sastra merupakan sebuah stuktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra haruslah karya sastra dianalisis (Hill, 1966:6). Namun, sebuah analisis yang tidak berhubugan. Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Maka dalam analisis sajak , bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Hal ini seperti dikemukakan oleh T.S. Eliot (via Sansorm, 1960:155) bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya (yaitu sarana-sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapatkan efek puitis), maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Seperti pengertian yang telah dikemukakan diatas, sajak itu merupakan susunan keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling erat berkaitan dan saling menentukan maknanya. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain,  unsur-unsur itu mendapatkan artinya  (Culler, 1977:170-1). Jadi, untuk memahami sajak, haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.
C.    Metode Puisi
Unsur-unsur bentuk atau struktur puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Unsur-un sur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah: diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi dan tata wajah puisi.
Diksi

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair.
Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Karena pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan sekalipun unsurnya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lainnya dalam konstuksi keseluruhan puisi itu.
Pengimajian

Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mngandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji taktil). Ungkapa perasaan penyair dijelmakan  ke dalam gambaran konkret mirip musik atau gambar arau cita rasa tertentu. Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika kita memnghayati puisi itu, seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin melukiskan imaji penglihatan (visual), maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak. Jika imaji taktil yang ingin digambarkan, maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan.
Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata.
     Kata Konkret

Untuk membangun imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin kedalam puisinya.
Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.
Bahasa Figuratif (Majas)

Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figurati ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, karena bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak     jadi konkret dan menjadika puisi lebih nikmat dibaca; bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair; bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine, 1974 : 616-617)
                  Versifikasi (rima, ritma, dan metrum)
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi.
  1.       Rima, pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi.Marjorie Boulton menyebutkan rima sebagai phonetic form. Jika bentuk phonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi (1979:42)
  2.       Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti tembang mocopat dan tembang jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodistet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa yang berulang.
  3.       Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis. Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus (mengalir terus). Slamet Muljana mengatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Metrum sama dengan maat.seperti disebutkan di depan bakukan, maka sulit mencari dactylus, anapest, tracheus, dan sebagainya. Maka pembicaraan tentang metrum sulit dilaksanakan dalam puisi Indonesia.

Tiap penyair, aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritma itu. Dalam puisi lama jelas sekali pemotongan baris-baris puisi menjadi dua frasa merupakan teknik pembentuk ritma yang padu, namun teknik ritma tersebut bersifat statis.
Dalam puisi-puisi angkatan pujangga baru, keadaan seperti ini kiranya masih dapat dipertahankan. Dalam puisi Ali Hasjmy, misalnya kita juga dapat ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua frasa).
Dalam puisi-puisi angkatan ’45, terutama karya Chairil Anwar, irama sudah diciptakan secara kreatif, artinya tidak hanya berupa pemotongan baris-baris puisi menjadi dua frasa, namun dapat berupa pengulangan kata-kata tertentu untuk mengikat beberapa baris puisi.
Tata Wajah (Tifografi)
Tifografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi.
Baris-baris puisi dapat saja disusun seperti tifografi puisi. Namun makna prosa tersebut kemudian akna berubah menjadi lebih kaya, jika prosa itu ditafsirkan sebagai puisi. Sebaliknya, jika orang tetap menafsirkan puisi sebagai prosa, tifografi tersebut tidak berlaku. Cara sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna tambahan. Makna tambahan itu diperkuat oleh penyajian tifografi puisi. Dalam puisi-puisi kontemporer seperti karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, tifograi itu dipandang begitu penting, sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata.
D.    Hakikat Puisi
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. I.A. Richards menyebut makna atau struktur batin itu dengan istilah hakikat puisi (1976:180-181). Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. Dalam makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan perasaan, nada dan suasana.
Perasaan (feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau gelandangan. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam menghadapi pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi gadis kecil berkaleng kecil dengan perasaan iba hati karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan ingin ikut “gadis berkaleng kecil itu”. Rendra berperasaan benci dan bersikap memandang rendah para pengemis karena Rendra memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk menopang kehidupannya. Sikap Chairil Anwar sama dengan sikap Rendra. Mereka tidak memiliki rasa belas kasih kepada para pengemis.
Dari hal itu, nampak bahwa perbedaan sikap penyair menyebabkan perbedaan perasaan penyair menghadapi objek tertentu. Sikap simpati dan antipati, rasa senang dan tidak senang, rasa benci, rindu, setiakawan, dan sebagainya dapat kita jumpai dalam puisi-puisi yang dihasilkan.
Nada Dan Suasana
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah ia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam puisi-puisi mbeling.
Jika puisi merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk, begitu seterusnya.


ANALISIS STUKTURAL PUISI “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR
A.    Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku
‘ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Deru Campur Debu, 1959:7)

B.     Analisis Struktural Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar
Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seseorang pun yang bersedih (“merayu”), bahkan juga kekasih atau istrinya.
Tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada gunanya.  Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya. Ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia ditembak peluru menembus kulitnya, si aku tetap meradang menerjang , berang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan pemnderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
Si aku makin tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi. Maksudnya, secara kiasan si aku  menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: “‘ku mau tak seorang ‘kan merayu (bersedih)”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka maka “tak perlu sedu sedan itu “. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya (sebagai “binatang jalang”). Tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Denga penuh semangat si aku akan menghadapi segala rintangan (“tembusan peluru”, “bisa dan luka”) dengan kebebasannya yang mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab dengan hanya demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “Aku mau hidup seribu tahun lagi “, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Sikap penonjolan kepribadian ini ditandai dengan penyebutan ‘aku’ yang berulang-ulang: waktuku, ‘ku mau, aku ini, menembus kulitku, aku tetap meradang, kubawa berlari, aku akan lebih lebih tidak perduli, aku mau hidup.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedu sedah itu, aku tetap meradang, aku akan lebih tidak perduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang erat: a dan u yang dominan pernyataan dirisebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiridari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keteransingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggungjawaban pribadi: ‘ku mau tak seorang ‘kan merayu / tidak juga kau’. Hal ini karena si aku adalah manusia bebas yang tdak mau terikat kepada orang lain: ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’.
Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasibnya sendiri: ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap atau pandangan para penyair yang mendahuluinya (pujangga baru).
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat dengan ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
..................................................
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai dengan ulangan bunyi i-i yang lebih menambah intensitas:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
..... perduli
..... lagi

Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata.
Sajak “aku” ini menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini disebabkan oleh ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari prors pemilihan ke poros kombinasi (Jakobson, 1978:363). Di sini dipergunakan penyimpangan arti (distorting) (Riffaterre, 1978:2), ‘kalau sampai waktuku’ dapat berarti kalau aku mati; ‘tak perlu sedu sedan itu’. ‘Tidak juga kau’ dapat berarti ‘tidak juga anaku, istriku, atau kekasihku’. Semua ini menurut konteksny. Jadi, ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh penggantian arti  (displacing), yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, di sini dipergunakan metafora, baik metafora penuh maupun implisit. Metafora penuh seperti: ‘aku ini binatang jalang’, maksudnya, si aku  itu seperti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apa pun.
Metafora disini: peluru, luka dan bisa, pedih peri. ‘peluru’ untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku tertembus peluru: mendapat siksaan, rintangan, serangan atau pun halangan-halangan, ia akan tetap meradang, menerjang, melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. ‘luka dan bisa’ untuk mengiaskan penderitaan yang didapat, yang menimpa. ‘pedih peri’  mengiaskan kesakitan kesedihan, atau pun  penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan atau pun siksaan). Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkret, berupa citra-citra yang dapat diindera, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Disamping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak.
Untuk menyatakan semangat yang bernyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan: ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’. Jadi, di sini keliatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas meu mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti (distorting) dan penggantian arti (displacing) itu menyebabkan sajak “Aku” ini dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini, yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya, oleh polyinterpretabilitasnya.  





BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Bentuk karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda dengan prosa. Perbedaan itu tidak hanya dari struktur fisiknya, tetapi juga dalam hal struktur batin. Dalam hal struktur fisik dan struktur batin, penciptaan puisi menggunakan prinsip pemadatan atau pengkonsentrasian bentuk dan makna.
      Puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
      Metode puisi berbeda dari metode prosa. Dala menghayati puisi, telaah yang lebih mendalam ke struktur yang lebih kecil, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret majas, versifikasi, dan tifografi puisi. Enam unsur ini saling berkaitan dan membentuk kesatuan. Pun pula keenam unsur metode puisi ini berkaitan dengan struktur batin puisi.
      Setiap puisi mempunyai struktur batin atau hakekat yang terdiri atas: tema, perasaan, nada, dan amanat. Keempatnya merupakan jiwa puisi yang padu.
      Perasaan dalam puisi adalah perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi mengungkapkan perasaan yang beraneka ragam. Mungkin perasaan sedih, kecewa, terharu, benci, rindu, cinta, kasih, kagum, bahagia, atau pun perasaan setia kawan.
      Nada puisi adalah sikap batin penyair yang hendak diekspresikan penyair kepada pembaca. Ada nada menasehati, mencemooh, sinis, berontak, iri hati, ganas, gemas, penasaran, dan sebagainya. Nada puisi ikut mewarnai corak puisi itu. Suasana ialah suasana batin pembaca akibat pembaca puisi.  








DAFTAR PUSTAKA

J. Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:  Erlangga.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.