TEORI PENDEKATAN STRUKTURAL
A.
Memahami Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi
tidak hanya digunakan untuk penulisan karya-karya besar, namun ternyata puisi
juga erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dunia telah diperindah dengan
adanya puisi.
Nyanyian-nyanyian yang kita dengarkan
tidaklah semata-mata hanya lagunya yang indah, tetapi terlebih lagi isi
puisinya mampu menghibur manusia. Puis-puisi cinta didengarkan oleh para
penyanyi dari berbagai kurun waktu dan anehnya tidak pernah membosankan karena
selalu diperbaharui oleh penyairnya.
Tradisi berpuisi sudah berupa tradisi
kuno dalam masyarakat. Puisi yang paling
tua adalah mantra. Dalam masyarakat desa di Jawa, terdapat tradisi mendengarkan
tembang-tembang Jawa pada saat acara jagong bayi atau pesta-pesta. Yang didengarkan
oleh hadirin bukan hanya lagunya, namun terlebih isi puisi yang biasanya
mengandung cerita atau nasihat.
Ada suasana tertentu di saat seseorang
dituntut untuk berpuisi dan saat lain dimana seseorang dituntut untuk berprosa.
Tuntutan pengucapan itu juga turut memberi warna kodrat prosa dan puisi. Puisi
diciptakan dalam suasana perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa
yang spontan dan padat. Dalam puisi, aku lirik berbicara tentang jiwanya
sendiri artinya mengungkapkan dirinya sendiri. Di dalam prosa, pengarang tidak
membicarakan dirinya sendiri. Dalam prosa, aku lirik bicara tentang kisah orang
lain atau tentang dunia.
Setiap puisi pasti berhubungan dengan
penyairnya karena puisi diciptakan dengan mengungkapkan diri penyair sendiri.
Si dalam puisi, aku lirik memberikan tema, nada, perasaan, dan amanat. Rahasia
dibalik majas, diksi, imaji, kata konkret, dan versifikasi akan dapat
ditafsirkan dengan tepat jika berusaha memahami rahasia penyairnya.
Definisi
puisi sulit diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan ciri-ciri
karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya sastra
lainnya.
Puisi adalah bentuk karya sastra yang
paling tua. Sejak kelahirannya, puisi memang sudah menunjukan ciri-ciri yang
khas seperti kita kenal sekarang, meskipun puisi telah mengalami perkembangan
dan perubahan tahun demi tahun.bentuk karya sastra puisi memang dikonsep oleh
penulis atau penciptanya sebagai puisi dan bukan bentuk prosa yang kemudian
dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan bentuk yang terungkapkan.
Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala
kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan gagasannya untuk melahirkan puisi. Penyair
bukan memulai karyanya dengan konsep prosa. Perencanaan konsep dasar penciptaan
sudah sejak dalam pikirannnya. Hal ini juga berakibat bahwa seorang penyair
belum tentu mampu menjadi pengarang prosa, sebaliknya seorang pengarang prosa
belum tentu mampu menjadi penyair.
B.
Analisis Struktural
Puisi (kaya sastra) merupakan sebuah struktur. Struktur
di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik,
saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa
kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri,
melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan salng bergantung.
Dalam pengertian struktur ini (Piaget via Hawkes,
1978:16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu
ide kesatuan, ide transformasi, dan ide diri sendiri (self-regulation).
Pertama, struktur itu merupakan keastuan yang bulat,
yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar
struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa
struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur
transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan
melalui prosedur itu. Misalnya struktur kalimat: Ia memetik bunga. Strukturnya:
subjek – predikat – objek. Dari struktur itu dapat diproses: Saya (Siman, Tuti,
Tini) memetik bunga. Dapat juga diproses dengan struktur itu: Ia memetik buah
(mawar, daun, melati), atau: Ia merangkai (memasang, memotong, menanam) bunga,
begitu seterusnya. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti
struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk
mensahkanprosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat: Saya
memetik bunga, tidaklah diperlukan keterangan dari dunia nyata, melainkan di
proses atas dasar aturan didalamnya dan yang mencukupi diriny sendiri. Bunga
itu berfungsi sebagai objek dalam kalimat bukan karena menunjuk bunga yang
nyata ada di luar kalimat itu, melainkan berdasarkan tempatnya dalam struktur
itu, maka bunga berfungsi sebagai objek (karena terletak langsung di belakang
kata kerja transitif aktif). Jadi, setiap unsur itu mempunyai fungsi tertentu
berdasarkan aturan dalam struktur itu. Setiap unsur mempunyai fungsi tertentu
berdasarkan letaknya dalam stuktur itu.
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir
tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi
struktur-stuktur seperti tersebut di atas. Menurut pikiran strukturalisme,
dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan
susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap
unsur dalam stuktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya
ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam
struktur itu (Hawkes, 1978:17-18).
Dengan pengretian seperti itu, maka analisis struktural
sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam
struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam
kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam
stuktur.
Karya sastra merupakan sebuah stuktur yang kompleks.
Karena itu, untuk memahami karya sastra haruslah karya sastra dianalisis (Hill,
1966:6). Namun, sebuah analisis yang tidak berhubugan. Unsur-unsur sebuah
koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Maka dalam analisis sajak ,
bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Hal ini
seperti dikemukakan oleh T.S. Eliot (via Sansorm, 1960:155) bahwa bila kritikus
terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan
penyairnya (yaitu sarana-sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapatkan
efek puitis), maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Seperti
pengertian yang telah dikemukakan diatas, sajak itu merupakan susunan
keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling erat
berkaitan dan saling menentukan maknanya. Antara unsur-unsur struktur sajak itu
ada koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan
merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian
lain, unsur-unsur itu mendapatkan
artinya (Culler, 1977:170-1). Jadi,
untuk memahami sajak, haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan
unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.
C.
Metode Puisi
Unsur-unsur bentuk atau struktur puisi dapat diuraikan
dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi.
Unsur-un sur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan
kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah: diksi, pengimajian, kata konkret,
majas, versifikasi dan tata wajah puisi.
Diksi
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata yang
ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama,
kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat,
penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari
kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi
makna menurut kehendak penyair.
Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka
bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Karena
pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata
yang sudah dipilih oleh penyair untuk bersifat absolut dan tidak bisa diganti
dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan sekalipun
unsurnya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak
dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata
lainnya dalam konstuksi keseluruhan puisi itu.
Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata
konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu
kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan,
pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata
atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah
mngandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji taktil). Ungkapa
perasaan penyair dijelmakan ke dalam
gambaran konkret mirip musik atau gambar arau cita rasa tertentu. Jika penyair
menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika kita memnghayati puisi itu,
seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin melukiskan imaji
penglihatan (visual), maka puisi itu seolah-olah melukiskan sesuatu yang
bergerak-gerak. Jika imaji taktil yang ingin digambarkan, maka pembaca
seolah-olah merasakan sentuhan perasaan.
Pengimajian
ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan
ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita
rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati
secara nyata.
Kata Konkret
Untuk membangun imaji (daya bayang) pembaca, maka
kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang.
Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat,
mendengar atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca
terlibat penuh secara batin kedalam puisinya.
Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang
diciptakan penyair, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab
terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat
membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.
Bahasa Figuratif (Majas)
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau
berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa
figurati ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata
atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan
apa yang dimaksudkan penyair, karena bahasa figuratif
mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; bahasa figuratif
adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi, sehingga yang
abstrak jadi konkret dan menjadika puisi lebih nikmat dibaca; bahasa figuratif
adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan
menyampaikan sikap penyair; bahasa figuratif
adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara
menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine,
1974 : 616-617)
Versifikasi (rima, ritma, dan metrum)
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti
istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan
pengulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk
keseluruhan baris dan bait. Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi
frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi.
- Rima, pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi.Marjorie Boulton menyebutkan rima sebagai phonetic form. Jika bentuk phonetik itu berpadu dengan ritma, maka akan mampu mempertegas makna puisi (1979:42)
- Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti tembang mocopat dan tembang jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodistet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa yang berulang.
- Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis. Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus (mengalir terus). Slamet Muljana mengatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Metrum sama dengan maat.seperti disebutkan di depan bakukan, maka sulit mencari dactylus, anapest, tracheus, dan sebagainya. Maka pembicaraan tentang metrum sulit dilaksanakan dalam puisi Indonesia.
Tiap penyair, aliran, periode, dan angkatan mempunyai
perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritma itu. Dalam
puisi lama jelas sekali pemotongan baris-baris puisi menjadi dua frasa
merupakan teknik pembentuk ritma yang padu, namun teknik ritma tersebut
bersifat statis.
Dalam puisi-puisi angkatan pujangga baru, keadaan seperti
ini kiranya masih dapat dipertahankan. Dalam puisi Ali Hasjmy, misalnya kita
juga dapat ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua
frasa).
Dalam puisi-puisi angkatan ’45, terutama karya Chairil
Anwar, irama sudah diciptakan secara kreatif, artinya tidak hanya berupa
pemotongan baris-baris puisi menjadi dua frasa, namun dapat berupa pengulangan
kata-kata tertentu untuk mengikat beberapa baris puisi.
Tata Wajah (Tifografi)
Tifografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan
prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut
paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan
berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang
memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku bagi tulisan
yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi.
Baris-baris puisi dapat saja disusun seperti tifografi
puisi. Namun makna prosa tersebut kemudian akna berubah menjadi lebih kaya,
jika prosa itu ditafsirkan sebagai puisi. Sebaliknya, jika orang tetap
menafsirkan puisi sebagai prosa, tifografi tersebut tidak berlaku. Cara sebuah
teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna tambahan. Makna
tambahan itu diperkuat oleh penyajian tifografi puisi. Dalam puisi-puisi
kontemporer seperti karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, tifograi itu dipandang
begitu penting, sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata.
D.
Hakikat Puisi
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan penyair. I.A. Richards menyebut makna atau
struktur batin itu dengan istilah hakikat puisi (1976:180-181). Ada empat unsur
hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap
penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu
menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. Dalam makalah ini lebih
difokuskan pada pembahasan perasaan, nada dan suasana.
Perasaan (feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana penyair ikut
diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema
yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya,
sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Dalam menghadapi tema
keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis
atau gelandangan. Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto Sudarto
Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C. Noer dalam menghadapi
pengemis. Toto Sudarto Bachtiar menghadapi gadis kecil berkaleng kecil dengan
perasaan iba hati karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan ingin ikut “gadis
berkaleng kecil itu”. Rendra berperasaan benci dan bersikap memandang rendah
para pengemis karena Rendra memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk
menopang kehidupannya. Sikap Chairil Anwar sama dengan sikap Rendra. Mereka
tidak memiliki rasa belas kasih kepada para pengemis.
Dari hal itu, nampak bahwa perbedaan sikap penyair
menyebabkan perbedaan perasaan penyair menghadapi objek tertentu. Sikap simpati
dan antipati, rasa senang dan tidak senang, rasa benci, rindu, setiakawan, dan
sebagainya dapat kita jumpai dalam puisi-puisi yang dihasilkan.
Nada Dan Suasana
Dalam menulis puisi, penyair
mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah ia ingin bersikap menggurui,
menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu
kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena
penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam
puisi-puisi mbeling.
Jika puisi merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka
suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat
psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara
tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang
timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada dan
suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap
pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh
pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk,
begitu seterusnya.
ANALISIS
STUKTURAL PUISI “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR
A.
Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar
Aku
Kalau
sampai waktuku
‘ku mau tak seorang
‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu
sedan itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru
menembus kulitku
Aku tetap meradang
menerjang
Luka dan bisa
kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih
peri
Dan aku akan lebih
tidak perduli
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1959:7)
B.
Analisis Struktural Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar
Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seseorang pun yang
bersedih (“merayu”), bahkan juga kekasih atau istrinya.
Tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak
ada gunanya. Si aku ini adalah binatang
jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya. Ia merdeka tidak mau
terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia ditembak peluru
menembus kulitnya, si aku tetap meradang menerjang , berang dan memberontak
terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan
penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan
pemnderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
Si aku makin tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta
penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi. Maksudnya, secara kiasan si
aku menginginkan semangatnya,
pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan
keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka
dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang
itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: “‘ku mau tak seorang ‘kan
merayu (bersedih)”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya,
baik dalam suka maupun duka maka “tak perlu sedu sedan itu “. Semua masalah
pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang
yang sebebas-bebasnya (sebagai “binatang jalang”). Tak mau dibatasi oleh
aturan-aturan yang mengikat. Denga penuh semangat si aku akan menghadapi segala
rintangan (“tembusan peluru”, “bisa dan luka”) dengan kebebasannya yang mutlak
itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab dengan hanya
demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikiran dan semangatnya
itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “Aku mau hidup
seribu tahun lagi “, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai
kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Sikap penonjolan kepribadian ini ditandai dengan penyebutan ‘aku’ yang
berulang-ulang: waktuku, ‘ku mau, aku ini, menembus kulitku, aku tetap
meradang, kubawa berlari, aku akan lebih lebih tidak perduli, aku mau hidup.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan
pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedu sedah
itu, aku tetap meradang, aku akan lebih tidak perduli, dan aku mau hidup seribu
tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang erat: a dan u yang dominan
pernyataan dirisebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani
melihat diri sendiridari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong
terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga ada
cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keteransingannya ini
memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggungjawaban pribadi: ‘ku
mau tak seorang ‘kan merayu / tidak juga kau’. Hal ini karena si aku adalah
manusia bebas yang tdak mau terikat kepada orang lain: ‘aku mau hidup seribu
tahun lagi’.
Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasibnya sendiri:
‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah merupakan sikap revolusioner terhadap
paham dan sikap atau pandangan para penyair yang mendahuluinya (pujangga baru).
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang
berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat
dengan ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir
seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
..................................................
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Gaya
tersebut disertai dengan ulangan bunyi i-i yang lebih menambah intensitas:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
..... perduli
..... lagi
Dengan
hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata.
Sajak “aku” ini menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini
disebabkan oleh ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu
menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan
prinsip ekuivalensi dari prors pemilihan ke poros kombinasi (Jakobson,
1978:363). Di sini dipergunakan penyimpangan arti (distorting) (Riffaterre,
1978:2), ‘kalau sampai waktuku’ dapat berarti kalau aku mati; ‘tak perlu sedu
sedan itu’. ‘Tidak juga kau’ dapat berarti ‘tidak juga anaku, istriku, atau
kekasihku’. Semua ini menurut konteksny. Jadi, ambiguitas arti ini memperkaya
arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh penggantian arti (displacing), yaitu dalam sajak ini banyak
dipergunakan bahasa kiasan, di sini dipergunakan metafora, baik metafora penuh
maupun implisit. Metafora penuh seperti: ‘aku ini binatang jalang’, maksudnya,
si aku itu seperti binatang jalang yang
bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apa pun.
Metafora disini: peluru, luka dan bisa, pedih peri. ‘peluru’ untuk
mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku
tertembus peluru: mendapat siksaan, rintangan, serangan atau pun
halangan-halangan, ia akan tetap meradang, menerjang, melawan dengan keras,
berbuat nekat demi kebenarannya. ‘luka dan bisa’ untuk mengiaskan penderitaan
yang didapat, yang menimpa. ‘pedih peri’
mengiaskan kesakitan kesedihan, atau pun
penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan,
serangan atau pun siksaan). Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkret,
berupa citra-citra yang dapat diindera, gambaran menjadi nyata, seolah dapat
dilihat, dirasakan sakitnya. Disamping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan
kepadatan sajak.
Untuk menyatakan semangat yang bernyala-nyala untuk merasakan hidup yang
sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan: ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’.
Jadi, di sini keliatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas meu mereguk hidup
ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti (distorting) dan penggantian arti (displacing) itu
menyebabkan sajak “Aku” ini dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan
saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru”
setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini,
yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini, yang menjadi dinamis oleh
ambiguitasnya, oleh polyinterpretabilitasnya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Bentuk karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda dengan prosa.
Perbedaan itu tidak hanya dari struktur fisiknya, tetapi juga dalam hal
struktur batin. Dalam hal struktur fisik dan struktur batin, penciptaan puisi
menggunakan prinsip pemadatan atau pengkonsentrasian bentuk dan makna.
Puisi adalah salah satu bentuk
kesusastraan yang mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
Metode puisi berbeda dari metode prosa.
Dala menghayati puisi, telaah yang lebih mendalam ke struktur yang lebih kecil,
meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret majas, versifikasi, dan tifografi
puisi. Enam unsur ini saling berkaitan dan membentuk kesatuan. Pun pula keenam
unsur metode puisi ini berkaitan dengan struktur batin puisi.
Setiap puisi mempunyai struktur batin atau
hakekat yang terdiri atas: tema, perasaan, nada, dan amanat. Keempatnya
merupakan jiwa puisi yang padu.
Perasaan dalam puisi adalah perasaan yang
disampaikan penyair melalui puisinya. Puisi mengungkapkan perasaan yang
beraneka ragam. Mungkin perasaan sedih, kecewa, terharu, benci, rindu, cinta,
kasih, kagum, bahagia, atau pun perasaan setia kawan.
Nada puisi adalah sikap batin penyair yang
hendak diekspresikan penyair kepada pembaca. Ada nada menasehati, mencemooh,
sinis, berontak, iri hati, ganas, gemas, penasaran, dan sebagainya. Nada puisi
ikut mewarnai corak puisi itu. Suasana ialah suasana batin pembaca akibat
pembaca puisi.
DAFTAR PUSTAKA
J. Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar